Eva K. Sundari: Belum Ada Polisi Wanita Yang Bicara Kejahatan Seksual

13-02-2013 / KOMISI III

Kejahatan seksual terhadap wanita dan anak-anak terus berkembang dengan volume kasus yang meningkat. Sensitifitas gender dibutuhkan dalam menangani kejahatan maupun kekerasan terhadap wanita. Demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari (F-PDIPerjuangan), saat rapat kerja dengan Kapolri, Rabu (13/2).

Menurut Eva, para polisi wanita perlu dikerahkan menangani penyidikan atas kasus kejahatan seksual atau kekerasan gender dan anak. Selama ini, katanya, polisi wanita tidak pernah bicara soal kejahatan seksual. Dengan ditangani polisi wanita, kasus-kasus seperti ini bisa ditangani secara serius, karena ada sensitifitas gender tadi.

“Terhadap kejahatan seksual gender dan anak, tidak pernah ada polisi wanita yang bicara,” tandasnya. Seperti diketahui, kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap wanita, justru banyak ditangani oleh penyidik polisi pria. Untuk itu, perlu ada pembenahan tersendiri dalam persoalan ini.

Pada bagian lain, Eva juga menyampaikan bahwa ternyata kasus-kasus malapraktek yang masuk ke kepolisian, sedikit sekali yang ditindaklanjuti. Eva mengungkapkan, data dari LBH Kesehatan, ada ratusan kasus malapraktek, tapi hanya satu, dua yang ditindaklanjuti hingga ke pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.

Ini mengindikasikan bahwa jajaran penyidik di kepolisian tidak memahami betul hukum dan UU kesehatan. Padahal, ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lembaga resmi yang bisa dimintai pendapat sebelum menindaklanjuti kasus malapraktek.

Rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Gede Pasek Suardika (F-PD), dan didampingi Wakil Ketua Al Muzammil Yusuf (F-PKS) serta Tjatur Sapto Edy (F-PAN), ini dimulai pada pukul 10.15 WIB. Kapolri, Wakapolri, dan semua jajaran dari Mabes Polri hadir dalam rapat tersebut. Berbagai kritik tajam mengemuka dalam rapat tersebut.

Kritik lain yang disampaikan Eva Kusuma Sundari adalah soal pembenahan metode pendidikan kepolisian. Ia mengungkapkan contoh kasus aktual yang dibawanya di hadapan rapat Komisi III adalah keprihatinan seorang istri polisi yang melihat suaminya berubah sikap dan karakteristik seperti seorang yang tidak mengenal dirinya lagi. Bila diajak bicara oleh istrinya, sang suami yang polisi itu tak responsif lagi.

Ini berarti ada yang salah dengan metode pendidikan di kepolisian kita. “Seperti ada cuci otak,” katanya. Kekerasan fisik yang berlebihan terhadap siswa-siswa kepolisian selama pendidikan harus dikurangi bahkan ditiadakan. (mh), foto :wy/parle/hr.

BERITA TERKAIT
Langgar Kesusilaan, Rudianto Lallo Desak Polri Usut Ipda YF secara Pidana
07-02-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo menyoroti dugaan kasus aborsi yang melibatkan seorang anggota Polda Aceh,...
Aparat Penegak Hukum Harus Usut Dugaan Manipulasi Sertifikat Lahan di Pagar Laut Bekasi
07-02-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menyoroti adanya manipulasi data sertifikat lahan di Pagar Laut, Kabupaten Bekasi,...
Dugaan Aborsi Libatkan Anggota Polda Aceh, Mangihut: Berdampak Serius terhadap Citra Polri
06-02-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI, Mangihut Sinaga, meminta agar kasus dugaan aborsi yang melibatkan seorang anggota Polda...
Tak Cukup Sebatas Sidang Etik, Pelanggaran Ipda YF Harus Diproses Hukum
06-02-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ipda YF, seorang perwira polisi lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 2023, menjadi sorotan warganet setelah diduga lakukan...